Pengesahan Undang- Undang Otoritas Jasa
Keuangan, 27 Oktober 2011, menandai babak baru industri jasa keuangan di
Indonesia. Kehadiran lembaga baru ini diharapkan secara komprehensif akan
mengatur dan mengawasi jasa keuangan di sektor pasar modal, perbankan,
asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain.
Semakin
kompleksnya industri jasa keuangan memang meningkatkan risiko sehingga menuntut
pengawasan lebih. Pengaturan dan pengawasan sejumlah sektor jasa keuangan juga
diharapkan menjadi sinergi kebijakan dan produk untuk menurunkan biaya
transaksi. Dengan demikian, dapat dibangun arsitektur jasa keuangan yang lebih
kuat dan terintegrasi. Maka, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi taruhan
agar kondisi jasa keuangan Indonesia lebih berdaya saing. Banyak pelajaran
berharga bisa dipetik, dari krisis ekonomi 1997-1998 hingga sejumlah fraud oleh
perusahaan jasa keuangan besar di AS. Pengalaman kegagalan single-supervisory
seperti FSA di Inggris dan Irish Financial Regulator menunjukkan, efektivitas
organisasi mutlak perlu untuk menghindari kegagalan manajemen. Sementara
sejumlah negara seperti Denmark, Jerman, Singapura, Belgia, dan Korsel
mencontohkan persiapan dan pengelolaan single-supervisory.
Harmonisasi Kebijakan
Membangun
industri jasa keuangan Indonesia yang kuat memerlukan totalitas sektor sebagai
kesatuan industri. Misalnya, pengaturan perbankan yang bisa berdampak langsung
dan tidak langsung pada sektor pasar modal ataupun lembaga pembiayaan lain.
Karena OJK hadir di tengah-tengah regulasi dan ketentuan industri yang telah
tertanam, tak mengherankan jika harmonisasi kebijakan sektoral perlu mendapat
perhatian serius.
Fungsi
koordinasi dan harmonisasi kebijakan tidak cukup hanya mengandalkan fungsi
representasi dari BI ataupun Kementerian Keuangan. Strategisnya fungsi
koordinasi dan harmonisasi kebijakan juga tidak cukup dijalankan oleh tim atau
satuan tugas yang bersifat ad hoc.
Tantangan
masa transisi tidak hanya mengisi anggota dewan komisioner, tetapi jauh lebih
penting adalah menentukan desain, struktur, dan proses organisasi OJK yang
efisien dan efektif. Untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antarlembaga,
OJK-BI-pemerintah membutuhkan arsitektur data dan informasi sebagai
decision-support-system. Apalagi, kondisi ketidakpastian global, regional, dan
domestik membutuhkan kecepatan respons yang ditopang akurasi data dan
informasi. Oleh karena itu, kehadiran OJK dituntut agar mampu menyeimbangkan
kepentingan makro-mikro sekaligus melindungi konsumen dari penipuan produk
ataupun jasa keuangan.
Oleh: Firmanzah Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Sumber: KOMPAS, Jumat, 18 November 2011, Halaman: 6.
Jelang
MEA 2015, Sejumlah Regulasi Industri Keuangan Disiapkan
Agar pelaku industri keuangan dalam negeri bisa bersaing
dengan pelaku industri keuangan dari luar negeri.
Sejumlah prioritas
regulasi tengah disiapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rangka menyambut
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Hal ini dimaksudkan agar pelaku
industri keuangan dalam negeri bisa bersaing dengan pelaku dari luar negeri.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad, berharap semangat saling menguntungkan atau simbosis mutualisme antar negara ASEAN bisa menjadi dasar kerjasama. "Indonesia punya message clear ke ASEAN. Kita ingin MEA itu dilandasi semangat saling menguntungkan. Jangan satu diuntungkan, satu dirugikan," katanya di Palembang, Kamis (23/10) malam.
Hal ini dilakukan lantaran penduduk negara-negara ASEAN yang besar tapi masih memiliki kemampuan terbatas. Atas dasar itu, semangat saling menguntungkan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi di masing-masing negara. "Makanya concern integrasi ASEAN ini harus saling menguntungkan," katanya.
Menurutnya, agar semangat saling menguntungkan bisa terjadi maka harus ada capacity building di tiap negara. Di Indonesia sendiri, lanjut Muliaman, penguatan kapasitas tersebut bisa dalam bentuk penguatan sumber daya manusia yang siap bersaing. Hal ini dilakukan lantaran dalam MEA bisa terjadi arus bebas dalam bentuk sumber daya manusia.
Penguatan di institusi industri keuangan juga tak kalah penting. Hal ini bisa dalam bentuk penguatan modal dan teknologi, sehingga bisa bersaing dengan negara lain. Ia menilai, sejumlah syarat ini belum terlambat jika menjadi fokus sebelum MEA.
"Ini belum terlambat, masih bisa dilakukan. Kami di Otoritas berusaha memayungi dengan kebijakan, misalnya bisa dilakukan treatment-treatment khusus," ujarnya.
OJK kini sedang menjalin pembicaraan dengan Malaysia dan Singapura dalam membangun prinsip berdasarkan asas resiprokal. Kedua negara ini dipilih lantaran selama ini banyak keluhan bahwa susah membuka kantor cabang bagi industri keuangan Indonesia.
"Ini sedang kita
terus bicarakan. Mudah-mudahan sebelum akhir tahun, MoU kita dengan Malaysia
sudah kita lakukan," tambahnya.
Kerjasama dalam bentuk bilateral ini juga dijalin OJK ke negara-negara di luar ASEAN, seperti Korea, China dan Jepang. Menurut Muliaman, selain penguatan infrastruktur, regulasi juga menjadi dasar penting menyambut MEA. "Kalau ini bisa kita lakukan, kita bisa memanfaatkan benefitnya dari integrasi ini. Ada nilai tambahnya yang bisa kita nikmati. Karena sudah ada kemampuan kita yang lebih besar."
Meski begitu, Muliaman menambahkan, terdapat tantangan yang harus dijawab oleh regulator dan pelaku industri. Tantangan itu berupa skala prioritas yang lebih fokus domestic oriented. "Itu yang perlu jadi perhatian kita. Saya juga ingin mengimbau para pegiat ekonomi domestik, bisa menjadikan pasar luar negeri, paling tidak ASEAN, untuk bisa dijajaki kemungkinannya," katanya.
Sebelumnya, Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menilai perlu ada strategi khusus dalam menghadapi berlakunya MEA pada 2015 dan untuk sektor perbankan pada tahun 2020. Strategi khusus tersebut bertujuan untuk menghadapi ketatnya persaingan perbankan asing.
Wakil Ketua Umum
Perbanas Farid Rahman mengatakan, strategi khusus yang bisa dilakukan perbankan
nasional tersebut dengan mengembangkan produk-produk keuangan sesuai dengan
kebutuhan konsumen.
Pengembangan produk ini harus sejalan dengan semakin majunya teknologi di bidang perbankan. Ia yakin, dengan cara seperti ini, profit yang diperoleh dari keterbukaan pasar bisa mudah diraih. Atas dasar itu, perbankan nasional harus segera menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
"Lembaga keuangan harus terbuka terhadap perubahan dan adaptasi strateginya," katanya.
Jika cara tersebut terus dilakukan perbankan nasional, Farid yakin, pertumbuhan perbankan domestik bisa terus menunjukkan angka yang positif. "Saya yakin, pertumbuhan perbankan di Indonesia masih positif meski perekonomian global masih melambat. Hal ini tentunya akan membantu perbankan untuk terus dapat berkembang," pungkasnya.
Nama :
Mohammad Mirsad
NPM :
28211818
Kelas :
4EB09
Daftar pustaka
Komentar
Posting Komentar